DENPASAR, BUSERJATIM.COM – Pulau Bali semakin sesak. Dengan luas wilayah hanya sekitar 5.780 km², kini Bali dihuni lebih dari 4,3 juta jiwa—jumlah yang jauh melampaui populasi di pulau-pulau besar lain di Indonesia dengan wilayah lebih luas. Kepadatan ini membuat Bali menjadi salah satu pulau terpadat di Tanah Air, yang berimbas langsung pada berbagai masalah sosial dan lingkungan.
Dampak paling nyata terlihat pada penumpukan sampah yang merajalela di berbagai sudut pulau. Mulai dari kawasan wisata populer hingga perkampungan padat, tumpukan limbah rumah tangga dan plastik masih menjadi pemandangan biasa. Tempat pembuangan akhir (TPA) yang nyaris penuh dan kurang optimalnya sistem daur ulang makin memperparah kondisi. Sampah-sampah ini kerap menyumbat saluran air saat musim hujan, hingga menimbulkan banjir lokal, serta mencemari pantai-pantai yang menjadi daya tarik utama Bali.
“Pariwisata kita terus tumbuh, tapi masalah lingkungan ikut membesar. Sampah jadi ancaman nyata,” ungkap Gede R., aktivis lingkungan asal Gianyar. Kondisi ini sempat menarik perhatian internasional, karena pantai-pantai yang indah harus ternoda oleh tumpukan sampah.
Di sisi lain, kemacetan lalu lintas makin menjadi-jadi. Jalan-jalan utama di Denpasar, Kuta, Ubud, dan kawasan wisata lainnya mengalami kepadatan kendaraan yang ekstrem, terutama pada jam-jam sibuk. Waktu tempuh yang biasanya singkat bisa membengkak hingga dua sampai tiga kali lipat. Situasi ini tidak hanya mengganggu kenyamanan wisatawan dan warga lokal, tapi juga memperburuk kualitas udara akibat polusi kendaraan bermotor.
Faktor utama kemacetan adalah terbatasnya kapasitas infrastruktur jalan yang belum mampu mengimbangi pertumbuhan kendaraan bermotor, minimnya alternatif transportasi massal yang efektif, dan kurangnya sistem pengelolaan lalu lintas yang terpadu. Hal ini mengancam kelancaran mobilitas di Bali dan bisa merusak pengalaman wisata yang selama ini menjadi kebanggaan pulau ini.
“Jika tidak diatur dengan baik, pulau sekecil ini akan kolaps oleh beban penduduk, limbah, dan tekanan infrastruktur,” kata Made W., perencana wilayah asal Denpasar. Para pengamat menekankan perlunya pembenahan menyeluruh—dari penataan ruang, pengendalian pembangunan, hingga pengelolaan sampah dan transportasi yang berkelanjutan.
Mendukung kekhawatiran ini, Tony Wheeler, pendiri Lonely Planet, yang baru-baru ini berkunjung ke Bali, menyatakan, “Bali adalah permata pariwisata dunia dengan kekayaan budaya dan alam yang luar biasa. Namun, saya melihat langsung bagaimana kepadatan penduduk dan lalu lintas mulai merusak pengalaman pengunjung. Jika masalah lingkungan dan kemacetan tidak segera ditangani, Bali bisa kehilangan daya tariknya sebagai destinasi wisata utama di Asia.”
Banyak pihak juga mendorong pemerataan pembangunan ke pulau-pulau lain di Indonesia, agar beban Bali yang selama ini menjadi pusat pariwisata dan ekonomi tidak terus membesar. Pulau-pulau dengan wilayah lebih luas namun penduduk lebih sedikit, seperti Flores atau Bangka, masih menyimpan potensi besar yang belum digarap maksimal.
Sebagai destinasi wisata dunia, Bali seharusnya bisa menjadi contoh pengelolaan lingkungan dan tata kota yang sehat. Namun jika persoalan kepadatan, sampah, dan kemacetan tidak segera ditangani dengan langkah strategis, Bali berisiko kehilangan daya tariknya—bukan karena keindahan alam yang memudar, tapi akibat pulau yang terlalu penuh dan tercemar. (FR85)