TABANAN – BUSERJATIM.COM -Gelar sidang lanjutan kasus sengketa tanah Duwe (milik/aset, red) Pura Dalem Desa Adat Kelecung seluas 27,8 are yang menghadirkan saksi dari pihak Penggugat di Pengadilan Negeri (PN) Tabanan ditunda. Pasalnya rencana saksi dari Penggugat, Anak Agung Mawa Kesama CS, dari Kerambitan tidak hadir dalam perkara No.190/Pdt.G/2023/PN Tabanan, Senin (4/12/2023).
Ketua Dewan Pertimbangan Tim Kuasa Hukum Desa Adat Kelecung (Tergugat) I Wayan Sutita, SH alias Wayan Dobrak menerangkan dalam sidang-sidang sebelumya pihaknya menanyakan kepada saksi-saksi yang dihadirkan Penggugat tentang pemahaman mereka terhadap konsep Tri Mandala tidak mampu menjelaskan dengan benar.
“Pembagian tahapan mandala-mandala, apa itu utama mandala, madya mandala, dan nista mandala, keempat orang saksi tidak satupun yang dapat menjawab. Apalagi menjelaskan bahwa tanah seluas 3,5 hektar plus, merupakan Tri Mandala,” terangnya didampingi Koordinator tim hukum I Gusti Ngurah Putu Alit Putra, SH.
Keterangan keempat saksi tersebut mereka dapatkan dari panglingsir-panglingsir adalah hal yang diulang-ulang. Begitu juga tentang kepemilikan Ipeda tahun 1977.
“Ipeda itu disadari atau tidak, hampir sama iuran pendapatan daerah itu hanya petunjuk bahwa seseorang menguasai tanah orang sebagai peserta wajib pajak tiap tahun,” dan tanah sengketa tidak termasuk dalam Ipeda berdasarkan keterangan saksi mereka yang mengatakan tanah sengketa masuk ke dalam Ipeda dengan Kode S/Sawah sedangkan tanah sengketa bukan sawah, tegas Wayan Sutita yang kerap disapa Wayan Dobrak ini.
Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten telah mengeluarkan Ipeda sama seperti saat ini SPPT, PBB. Jadi itu bukan tanda bukti kepemilikan. Lebih-lebih yang dipakai mengklaim adalah tanah sawah 75 are yang telah terbit sertifikat seluas 75 are yang letaknya jauh di utara bagian dari utama mandala. Seperti penjelasan saya tadi, hanya mengutip kesaksian para saksi. Lalu saya pertanyakan, apakah pasir itu bagian dari sawah, kenapa saudara bisa mengklik waktu bagian 75, Ipeda dari sawah tidak terjawab?” tanya Wayan Sutita.
Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa kehadiran keempat orang saksi yang dihadirkan Penggugat di depan sidang itu mempunyai nilai pembuktian lebih, ada bagian dari pihak penggugat.
“Kenapa Penggugat tidak konsisten, tanah itu dibilang tanah laba duwe (aset), dalam legal formal yang ada sekarang adalah tanah tersebut hak milik perorangan, empat orang Penggugat. Konsekuensi hukumnya, kalau itu dicatatkan atas pribadi lalu ditransaksikan maka pengempon Pura Taman tidak akan bisa menuntut, bisa jadi ini sebenarnya persoalan internal mereka,” tandasnya.
Lebih lanjut Wayan Sutita menjelaskan aturan Perda Bali persetujuan dari Dinas terkait parisada (PHDI) sangat terikat instansi. Kalau itu hukum perdata bisa dikatakan gugatan cacat formil dan materiil.
“Saksinya sudah mempunyai kedudukan fakta yuridis atau hanya historis? Rekan kami sebut 3,5 hektar termasuk kandang sapi, sumur tempat mandi umum zaman dahulu. Makanya di utama mandala kok ada sumur untuk umum/mandi jaman dulu?,” tanya Wayan Sutita.
Syarat- syarat kesakralan utama sudah sampai pada penggunaan tanah berpasir yang disebut geger. Dahulu terkenal kelompok masyarakat pemuliaan petani garam dan nelayan jadi bukti bukti faktualnya. Di situ ada Pura-Pura bersejarah. Dalam kesaksian mereka mengklaim sebagai Pura Penataran Taman, jadi mereka mengalihkan dan memutarbalikan fakta. Akan tetapi ada satu saksi dari Puri Kerambitan menyatakan itu adalah Pura Segara, otentiknya juga ada sertifikat-sertifikat warga sudah terbit. Segala macam penguasaannya berdasarkan sporadik, dan ada batas yang dibuat oleh mereka- mereka. Katanya tahun 2006, tetapi sepengetahuan masyarakat dibuat pada tahun 2016 dan sudah terbit sertifikat di tahun 2017 dengan nomor sertifikatnya 2184, identitas tanah itu di Desa Tegal Mengkeb,” tutup Wayan Sutita. ( Harun / Red )
Akibat ditundanya sidang tersebut, sekitar 350-400 warga Desa Adat Kelecung kecewa berat, dikarenakan hamp