Sosok yang sudah sangat familiar bagi publik sepakbola Bandung itu menuruni bus PERSIB yang berhenti tepat di depan gerbang utama Stadion Siliwangi Bandung, Minggu, 10 September 2023. Dia adalah Indra M. Thohir, pelatih legendaris yang mengantarkan PERSIB menjuarai Kompetisi Perserikatan 1993/1994 dan Liga Indonesia 1994/1995.
Meski usianya sudah menginjak 82 tahun, Abah Thohir tegap berjalan memasuki Stadion Siliwangi diikuti para pemain PERSIB All Stars yang akan menghadapi BVB Borussia Dortmund Legends pada pertandingan ekshibisi sore itu. Didampingi Asep Sumantri yang juga anak asuhnya semasa aktif menjadi pemain, Abah Thohir dipercaya menjadi pelatih PERSIB All Stars.
Praktis, tidak ada yang berubah dari sosok Abah Thohir saat berada di bench pemain. Mengenakan topi, sosok kelahiran 7 Juli 1941 ini tetap seksama menyimak menit demi menit permainan timnya dan juga lawannya. Sesekali, bibirnya bergumam ketika menemukan permainan anak asuhnya yang dirasa kurang pas.
Hingga pertandingan berakhir, Abah Thohir tak beranjak dan tetap antusias, termasuk ketika diwawancara sejumlah wartawan. Ia mengatakan, BVB Legends menang kualitas karena memang dasar sepakbolanya lebih baik.
“Ini sebuah pertunjukan yang sangat bagus. Dortmund memang tim yang matang dan jelas, cukup menghibur semua karena terlihat dari penguasaan bola, mereka sangat bagus. Itu karena mereka punya dasar yang juga bagus,” kata Abah Thohir.
Ia benar. Ribuan penonton yang berada di tribun Barat dan Timur Stadion Siliwangi tampak sangat menikmati permainan kedua tim. Mereka bernyanyi dan meneriakan yel-yel dukungan kepada pemain PERSIB All Stars dan bahkan BVB Legends.
Sayang, suasana menyenangkan itu perlahan berubah. Sejumlah oknum suporter yang diduga tak memiliki e-ticket memaksa masuk ke tribun stadion selatan. Bahkan, di akhir laga, mereka turun ke lapangan, menyalakan flare, dan mengganggu momen para pemain kedua tim memberikan penghormatan kepada penonton.
Insiden di akhir pertandingan itu membuat Abah Thohir sedikit tertegun. Dari air mukanya tergambar kesedihan. “”Bangsa kita ini susah memahami (aturan),” gumamnya.
“Itu juga yang menghambat kemajuan sepakbola kita. Itu (menyalakan flare) ‘kan enggak boleh dilakukan. Kalau ditegur, malah balik marah. Sangat disayangkan. Itu soal mental, kita belum sepenuhnya paham soal etika,” tambahnya.
Sebelum insiden ini, PT PERSIB Bandung Bermartabat gencar kampanye untuk menciptakan iklim pertandingan sepakbola yang positif, mulai dari pemeriksaan berlapis seperti penukaran e-ticket hingga edukasi bahaya menyalakan flare di stadion.
Bagi Abah Thohir, langkah PERSIB tersebut merupakan hal yang harus dilakukan. Tujuannya untuk memutus mata rantai budaya suporter yang negatif terhadap klub kebanggaannya. Ia pun berharap, langkah ini bisa terus dilakukan kepada generasi-generasi baru.
“Saya belum tahu ke depannya bagaimana. Semua itu ‘kan berawal dari generasi ini. Kalau kakak-kakaknya ini bisa bagus, selanjutnya akan mengikuti. Manajemen sudah bagus melakukan edukasi, tapi itu juga harus terus dilakukan, tidak boleh berhenti,” harapnya.
Kesedihan Abah Thohir juga dirasakan Kekey Zakaria. Striker bernomor punggung 18 saat PERSIB menjuarai Kompetisi Perserikatan 1993/1994 dan Liga Indonesia 1994/1995 itu menyayangkan terjadinya aksi-aksi tak terpuji suporter di pertandingan antara PERSIB All Stars dan BVB Legend.
Baginya, sepakbola seharusnya bisa dinikmati semua kalangan tanpa adanya perasaan khawatir akan ancaman keselamatan.
“Suporter seharusnya sudah berbeda antara dulu dan sekarang. Mereka harus bisa lebih bijaksana dan mengikuti aturan. Dulu, saya masih main, tidak ada hal-hal seperti ini (penyalaan flare), tapi ini muncul sekarang saat saya sudah tua. Mudah-mudahan ke depannya ini tidak ada lagi,” ungkapnya