BUSERJATIM.COM
Penulis : Nurul Azizah
Selamat tahun baru 1 Muharram 1444 Hijriyah bagi umat Islam seluruh dunia, terutama bagi yang merayakan. Karena ada kelompok yang mengaku paling Islam tapi tidak mau merayakan tahun baru Islam.
Kelompok Wahabi tidak mau merayakan dan menyambut datangnya tahun baru Hijriyah, karena kegiatan tersebut dianggap bid’ah yaitu Kanjeng Nabi Muhammad tidak melakukan hal tersebut.
Aduh susah sekali memahamkan kelompok Wahabi, sedikit-dikit bid’ah, tidak diajarkan Kanjeng Nabi. Apakah kelompok Wahabi tidak mau belajar sejarah. Apakah kelompok yang mengaku paling suci ini juga tidak mengakui adanya kalender Islam.
Pertanyaan-pertanyaan inilah yang akhirnya penulis memiliki ide untuk menulis tentang tahun baru Islam atau tahun Hijriyah. Semoga tulisan ini bisa memberi sedikit wawasan tentang sejarah adanya tahun baru hijriyah.
Memang dalam Sirah Nabawiyah, dimasa Nabi Muhammad SAW belum ada yang namanya tahun baru Hijriyah. Namun penamaan bulan seperti Muharram, Safar, Rabiul Awal, Ramadhan, Dzulhijjah dan Dzulqodah sudah dikenal pada zaman Kanjeng Nabi.
Dalam pelajaran Sejarah Kebudayaan Islam (SKI) masyarakat Arab pada masa itu belum mengenal tahun Hijriyah, yang mereka tahu ya bulan-bulan yang dimiliki umat Islam. Masyarakat Arab lebih familiar dengan sebutan tahun Gajah dan tahun Duka Cita. Tahun Gajah dikenal sebagai tahun kelahiran Kanjeng Nabi Muhammad SAW. Pada saat Kanjeng Nabi lahir Kota Makkah diserbu oleh Raja Abrahah dengan Pasukan Gajah. Sedangkan tahun Duka Cita adalah tahun di mana orang-orang yang dicintai Kanjeng Nabi meninggal dunia, yaitu isteri tercinta Siti Khatijah dan pamannya yang bernama Abu Thalib.
Penanggalan Muharram, Safar, Rabiul Awal, Ramadhan, Safar, Dzulhijjah dan Dzulqodah terus dilakukan oleh Kanjeng Nabi dan Khalifah Abu Bakar.
Pada saat Sayyidina Umar bin Khattab menjadi khalifah ke-2, barulah ada ide untuk menyatukan bulan-bulan Islam dalam sebuah tahun.
Keinginan Sayyidina Umar bin khattab ini terus muncul manakala umat Islam belum memiliki kalender Islam. Sementara umat Kristen sudah memiliki kalender dengan tahun Masehi.
Untuk keperluan surat menyurat antar Gubernur yang ada pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab, maka Sayyidina Umar menetapkan tahun Hijriyah sebagai tahun Islam. Agar surat-surat yang dikirim ke beberapa Gubernur memiliki tanggal, bulan dan tahun.
Contohnya surat yang diterima oleh Gubernur Bashrah, Abu Musa Al-Asyari dari Khalifah Umar hanya tertulis bulan Sya’ban tidak ada tahunnya. Sejak saat itu Sayyidina Umar bin Khattab melengkapi administrasi surat menyurat dengan tanggal, bulan dan tahun.
Untuk menentukan kapan dimulainya awal Tahun Hijriyah, Sayyidina Umar bin Khattab mengumpulkan sahabat-sahabat dan para Gubernur untuk musyawarah serta mufakat.
Ada beberapa sahabat yang mengusulkan awal Tahun Baru Hijriyah dimulai sejak kelahiran Nabi Muhammad SAW, sebagian yang lain mengusulkan sejak pertama turunnya Wahyu, serta ada beberapa yang mengusulkan tahun baru Hijriyah dimulai setelah Nabi Muhammad wafat.
Semua usul dari sahabat diterima dengan senang hati, tapi kesepakatan yang diperoleh dan disetujui oleh Sayyidina Umar bin Khattab, tahun baru Hijriyah dimulai sejak hijrahnya Nabi Muhammad SAW dari Makkah ke Madinah.
Ada satu lagi yang menjadi perhatian kita semua umat Islam. Hijrahnya Kanjeng Nabi itu bukan bulan Muharram, tapi bulan Maulid atau bulan Robiul awal.
Pada musyawarah antara Sayyidina Umar bin Khattab dengan para sahabatnya, para Gubernurnya tahun baru Hijriyah dimulai 1 Muharram. Karena pada saat surat menyurat atau korespondensi di pemerintahan, awal berdirinya Kota Madinah pada saat bulan Muharram. Jadi Sayyidina Umar bin Khattab dan para Gubernur serta sahabat-sahabatnya menganalisis awal tahun Hijriyah di mulai bulan Muharram hal ini berkaitan dengan urusan administrasi negara.
Dari beberapa usulan yang muncul, Khalifah Umar kemudian memilih Muharram sebagai awal tahun baru Hijriyah. Salah satu dasar yang dijadikan acuan pengesahan Muharram menjadi bulan pertama kalender Hijriyah adalah peristiwa Baiat Aqabah yang terjadi pada akhir bulan Dzulhijjah (bulan Haji), kemudian para sahabat baru hijrah berangsur-angsur ke Madinah diawal bulan Muharram.
Baiat Aqabah berisi kesepakatan perlunya Nabi Muhammad dan umat Islam melakukan hijrah ke Madinah pada bulan Muharram. Sehingga ada sebagian sahabat yang sudah memulai hijrah pada Muharram.
Penulis mohon maaf sekiranya ada yang kurang pas dalam tulisan ini. Karena keterbatasan penulis dalam belajar Sejarah Kebudayaan Islam. Tapi paling tidak bisa memberi jawaban atas kelakuan kelompok Wahabi yang tidak tahu asal usul tahun Hijriyah tapi terus membid’ah bid’ahkan amaliyah warga Nahdliyin yang memperingati datangnya pergantian tahun baru Hijriyah.
Nahdlatul Ulama merupakan organisasi Islam yang sering melakukan amaliyah yang sudah lama dilakukan sebagian masyarakat Indonesia yang mayoritas muslim. Ya diantaranya memperingati datangnya bulan Muharram sebagai pergantian tahun baru Hijriyah.
Memperingati pergantian tahun baru Hijriyah tidak disyariatkan dalam Islam tapi juga tidak diharamkan.
Kalau pelaksanaan peringatan tahun baru Hijriyah itu dibarengi dengan doa akhir dan awal tahun, pembacaan Al-Qur’an Surah Yasin, dzikir, pengajian, dan lain-lain amalan yang bermanfaat ya boleh-boleh saja. Amalan tersebut Insya Allah banyak faedahnya. Asalkan kegiatan tersebut dilakukan secara ikhlas, bermanfaat dan menambah guyub antar warga ya tidak masalah.
Kalau kelompok Wahabi yang ada di sekitar warga Nahdliyin menolak dan tidak hadir saat diundang untuk peringatan pergantian tahun baru Hijriyah ya terserah, tidak ada paksaan. Tapi mbok yo jangan terus membid’ah bid’ahkan warga Islam lainnya. Kelihatan sekali kalau mereka tidak mau guyub dan menyatu dengan warga yang berbeda pendapat dan amalan.
Nurul Azizah penulis buku ‘Muslimat NU Di Sarang Wahabi’ minat hub penulis 0851-0388-3445 atau Sintesanews.com 0858-1022-0132.
(Red/Panji)