Dr. Supriyadi SH, MH, sebagai saksi ahli, juga mendukung dugaan terjadinya rekayasa
Buserjatim.com || Kabupaten Kediri – Sengketa pengisian perangkat Desa di Desa Gempolan, Kecamatan Gurah, Kabupaten Kediri, menjadi perhatian publik setelah nomor pokok perkara 92/G/2023/PTUN-sby diajukan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Surabaya, pada Selasa 12 Juli 2023. Sengketa ini melibatkan tergugat Kepala Desa Gempolan, Saiful Mustofa, dan penggugat Gesit Nanda Satyauka.
Berbagai fakta yang diungkap dalam persidangan mengindikasikan adanya rekayasa yang terjadi dalam proses pengisian perangkat desa. Diduga, kerjasama yang dilakukan Pemerintah Desa Gempolan dengan pihak ketiga yang bertindak sebagai penyelenggara ujian perangkat desa tidak sesuai dengan petunjuk yang diatur dalam Peraturan Bupati Kediri nomor 48 tahun 2021.
Dalam persidangan, Dr. Supriyadi SH, MH, sebagai saksi ahli, juga mendukung dugaan terjadinya rekayasa. Dia menjelaskan bahwa Laboratorium UMM tidak memiliki kewenangan untuk melakukan kerjasama dengan pihak ketiga, karena tidak memiliki fakultas atau jurusan Prodi yang terakreditasi A, sesuai dengan Peraturan Bupati Kediri nomor 48 tahun 2021.
“Laboratorium UMM tidak memiliki kewenangan untuk melakukan kerjasama dengan pihak ketiga berdasarkan Peraturan Bupati Kediri nomor 48 tahun 2021. Disebabkan tidak adanya fakultas atau jurusan yang terakreditasi A di dalam Laboratorium UMM,” ucap Dr. Supriyadi.
Dr. Muslimin Machmud M.Si, Dekan Fakultas FISIP dari Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), menjelaskan bahwa pihak universitas tidak pernah menjalin kerjasama dengan Kepala Desa Gempolan atau desa lain di Kecamatan Gurah. Ia menambahkan bahwa Laboratorium UMM tidak dapat melakukan kerjasama tanpa persetujuan dari fakultas, karena kewenangannya berada di bawah fakultas tersebut.
“Nah kemudian berdasarkan urutan urutan yang saya sebutkan di tingkat fakultas, kami tidak ada kerjasama dengan pihak kecamatan. Kemudian di tingkat jurusannya juga tidak ada kerjasama dengan pihak Kepala Desa. ya sehingga kalau ada ahli atau pakar yang di sana itu berarti pribadi ahli itu untuk memberi kepakarannya itu terhadap apa yang dibutuhkan oleh mereka,” tegas Dr. Muslimin, pada 22 Desember 2021 dan membenarkan pernyataan itu kepada Jurnalis Jatimnews (22/01/2024).
Lebih lanjut, terbukti adanya laporan palsu yang dibuat oleh oknum Kepala Desa Gempolan kepada Bupati pada tanggal 14 Desember 2021, dengan surat nomor 141/418.69.16/2021. Laporan tersebut menyatakan bahwa ujian penyaringan dilaksanakan oleh Tim pengangkatan Perangkat Desa bekerjasama dengan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UMM yang terakreditasi A, bertempat di Balai Desa Tiru Kidul, Kecamatan Gurah.
Dugaan rekayasa ini juga melibatkan Camat Gurah saat itu, Kaleb Untung Satrio Witjaksono, pihak laboratorium, kepala desa, dan ketua tim panitia pengangkatan perangkat desa. Atas temuan fakta-fakta ini, laporan telah disampaikan kepada Bupati, Polres Kediri, DPRD, dan Komisi A DPRD Kabupaten Kediri.
Meskipun perangkat Desa Gempolan telah dilantik pada tahun 2021, proses pengisian masih digugat di PTUN Surabaya dengan Nomor Perkara 92/G/2023/PTUN Sby. Namun, dalam persidangan PTUN terdapat indikasi bahwa Majelis Hakim cenderung berpihak pada kepala desa yang menjadi tergugat. Dalam putusannya, Majelis Hakim menggunakan dasar hukum PERBUP 56 TAHUN 2018, pasal 14 ayat (3), padahal peraturan ini telah diubah dengan PERBUP 48 TAHUN 2021, pasal 14 ayat (4), yang menetapkan syarat berbeda untuk lembaga yang berkompeten dalam proses pengisian perangkat desa.
Menurut Dr. Susianto, terdapat kelalaian prosedural dalam pengambilan keputusan. MOU (Memorandum of Understanding) tidak dilakukan secara tepat, malah dilakukan dengan pihak yang salah. Selain itu, perjanjian kerja sama juga dilakukan dengan pihak yang tidak memiliki kompetensi dan kapasitas untuk bekerjasama dengan pihak ketiga, sehingga terjadi pelanggaran terhadap prosedur yang seharusnya diikuti.
“Kedua, dalam pertimbangan hukum, putusan majelis hakim secara teknik yudisial salah menerapkan peraturan yang tidak sesuai. Seharusnya peraturan yang berlaku adalah Perbup 48/2021, bukan peraturan yang sudah kadaluarsa seperti yang dipakai yaitu Perbup 56/2018. Ini menunjukkan bahwa pemilihan peraturan yang digunakan dalam pertimbangan hukum majelis hakim juga keliru,” ungkapnya saat ditemui di Malang, Senin 22/01/2024.
Ia juga menyoroti bahwa Kepala Desa Gempolan telah melanggar asas-asas hukum pemerintahan yang baik. Pelanggaran ini menunjukkan ketidakpatuhan dalam proses pengambilan keputusan yang seharusnya dilakukan secara transparan, adil, dan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
“Keputusan yang dibuat oleh Kepala Desa Gempolan dalam proses yang salah ini juga bermasalah secara substansi. Hal ini berarti keputusan yang diambil oleh kepala desa tersebut adalah batal demi hukum dan harus dicabut serta dinyatakan tidak sah,” jelasnya.
Dalam perkembangan terkait sengketa ini, pihak penggugat, Gesit Nanda Satyauka, mengajukan banding ke PTTUN Surabaya. Atas putusan Majelis Hakim selanjutnya akan dilaporkan ke Komisi Yudisial, Badan Pengawas Makamah Agung dan Polda Jawa Timur, dengan dasar argumentasi bahwa Majelis Hakim tidak mempertimbangkan perubahan peraturan yang terjadi pada tahun 2021. Masih menjadi tanda tanya apakah putusan PTUN Surabaya akan berdampak pada proses pengisian perangkat desa Gempolan di masa depan.
“Sudah saya ajukan banding ke PTTUN pada Kamis 16 November 2023 yang lalu dan melaporkan ke Polda Jawa Timur 14 Desember 2023, lalu ke Bawas MA dan Komisi Yudisial pada 13 Desember 2023 melalui pos dan sudah direspon 22 Desember 2023,” pungkas Gesit.
Jurnalis: Hary