Matamaja Group//Karawang. Selepas mengangkut batu dari pegunungan Cipaga, Tatang (45 tahun), beristirahat sejenak di markas Paguyuban Sopir Truk Batu Karawang, Jawa Barat. Melepas penat, Tatang duduk di sebuah balai kayu yang terletak persis di sebelah warung paguyuban. Secangkir kopi hitam panas, ikut menemani.
Tatang yang juga akrab disapa Mister Badak duduk menyila bersandar di sebuah dinding kayu. Speaker musik berwarna hitam diletakkan persis di sudut balai. “Saya sudah 20 tahun menjadi sopir,” cerita Tatang memulai pembicaraan dengan GPR News, belum lama ini.
Selama dua dekade menjadi sopir, sudah banyak hal yang ia lalui, termasuk dengan cara pembelian bahan bakar Solar bersubsidi. Sesulit apapun, Tatang memilih bertahan.
Pembelian Solar kini diarahkan memakai scan QR Code yang didapat dari pendaftaran melalui Mypertamina.id. Tanpa itu, maka pembelian dibatasi lebih sedikit.
Sebagai seorang sopir truk, Tatang pasti memilih bahan bakar bersubsidi apapun syaratnya. Ini karena harga Solar bersubsidi jauh lebih terjangkau. Tanpa itu, maka beban biaya transportasi akan semakin besar.
Bayangkan untuk Solar bersubsidi saat ini dibanderol dengan harga Rp 6.800 per liter. Sementara harga Solar nonsubsidi seperti Pertamina Dex Rp 16.850 per liter. Padahal pendapatannya tidak terlalu besar.
Ia mencontohkan, harga untuk membeli satu truk batu itu di daerah tambang Rp 600 ribu. Kemudian batu belah (batu untuk pondasi) itu dijual ke pembeli di Kota Karawang seharga Rp 2 juta. Artinya, ada keuntungan Rp 1,4 juta yang diperoleh dan ini harus dibagi-bagi secara merata. Dari mulai biaya kendaraan, bahan bakar, sopir, kenek, buruh pengangkut serta biaya lain-lain. “Dalam sehari paling satu atau dua rit mengangkut,” katanya sambil sesekali menyeruput kopi hitam.
Tatang tak menampik bahwa mayoritas sopir kini sudah memiliki aplikasi Mypertamina. “Di Paguyuban kami sudah 60 persen sopir menggunakan aplikasi,” katanya menambahkan.
Tatang bersama Paguyuban terus mendukung langkah pemerintah maupun Pertamina dalam program subsidi tepat sasaran. Mereka tidak masalah membeli dengan menggunakan aplikasi atau QR Code. Hanya saja, ia berharap agar bisa lebih dipermudah untuk bisa mendaftar. “Kendalanya ini aplikasi, karena kalau kita bikin aplikasi dan untuk dapat barcode itu gak sekali mendaftar. Kadang daftar lima kali baru bisa,” tuturnya.
Permasalahan yang muncul seperti data tidak cocok, data tidak jelas, foto armada, dan sejumlah persoalan lain. Apalagi tak semua sopir adalah pemilik truk tersebut. Lantaran sulit mendaftar, tak jarang para sopir meminjam aplikasi temannya yang sudah terdaftar untuk isi Solar. Agar kendaraan sesuai aplikasi, mereka mengakali sementara dengan mengganti pelat. “Kalau kita gak pakai aplikasi itu kan cuma dibatasi Rp 100 ribu- Rp 200 ribu belinya,” kata Tatang.
Tatang tidak terlalu banyak meminta ke pemerintah. Sekali lagi, ia hanya berharap sopir truk sepertinya bisa lebih mudah untuk mendapatkan bahan bakar bersubsidi.
Di Terminal Kalideres, Jajang, sedang duduk beristirahat di bus yang ia sopiri. Ia menunggu waktu giliran untuk berangkat mencari penumpang. “Sehari, kita narik dua rit bolak balik Kali Deres-Merak,” ujarnya ketika berbincang GPR News.
Menurut Jajang, sama dengan para sopir bus lain, ia menggunakan Mypertamina untuk membeli solar. Caranya tidak sulit, tinggal menempelkan saja QR code yang sudah dimiliki. Pun halnya ketika mendaftar sudah dibantu langsung dari perusahaan. “Jadi kita beli pakai QR Code tinggal nanti keluar berapa pemakaian kita, dengan mendaftar kita bisa beli sampai 200 liter per hari,” tuturnya.
Bagaimanapun, kata ayah beranak tiga itu, Solar bersubsidi sangat bermanfaat bagi perusahaan bus maupun para sopir. Jika tidak pakai Solar bersubsidi, maka cost perjalanan sangat besar. Belum lagi, jumlah penumpang yang sejak tahun baru kemarin sangat minim. “Sehari itu paling tidak 160 liter dipakai untuk bolak-balik,” ujar pria yang sudah lima tahun terakhir jadi sopir itu.”
Subsidi tepat sasaran
Pertamina secara perlahan namun pasti telah menguji coba pembelian bahan bakar dengan menggunakan QR code. Hal itu bertujuan untuk mengendalikan penjualan bahan bakar bersubsidi agar tepat sasaran. Per 6 Februari 2023, uji coba program subsidi tepat penggunaan QR Code sudah dilakukan di 193 Kota/Kabupaten untuk produk Solar Subsidi dan 12 Kota/Kabupaten untuk Pertalite.
Melalui kebijakan full cycle , mereka yang tak mempunyai QR code dibatasi hanya boleh beli bahan bakar subsidi Solar maksimal 20 liter. Adapun bagi yang sudah terdaftar tetap dibatasi, tapi kuotanya lebih besar sesuai dengan Surat Keputusan Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas (BPH Migas) Nomor 04/P3JBT/BPH Migas/Kom/2020 tentang Pengendalian Penyaluran JBT.
Dalam aturan itu disebutkan bahwa kendaraan bermotor perseorangan roda empat paling banyak 60 liter per hari per kendaraan. Kemudian kendaraan bermotor umum angkutan orang/barang roda 4 paling banyak 80 liter per hari. Selanjutnya, kendaraan bermotor umum angkutan orang/barang roda 6 paling banyak 200 liter per hari.
Untuk Pertalite tidak ada pembatasan seperti halnya Solar, baik yang sudah atau belum memiliki QR code. Namun informasi dari petugas di lapangan, pembelian Pertalite dibatasi per hari 120 liter. Kebijakan sementara itu diberlakukan sejak September 2022. “Maksimal 120 liter pak per hari,” ujar seorang petugas Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) di daerah Jakarta Selatan kepada GPR News, sambil mencatat nomor kendaraan.
Menurut Direktur Utama Pertamina, Nicke Widyawati, uji coba dengan Mypertamina adalah bagian dari melihat kesiapan sistem QR Code sambil menunggu proses revisi Perpres 191/2014 tentang penyaluran bahan bakar bersubsidi. “Namun yang perlu diperhatikan, masyarakat tidak wajib mengunduh atau memiliki aplikasi MyPertamina jika ingin mengisi bahan bakar bersubsidi,” ujar Nicke dalam penjelasan kepada GPR News, belum lama ini.
Hal yang benar, kata ia, adalah melakukan pendaftaran kendaraannya di situs subsiditepat.mypertamina.id untuk mendapatkan QR Code. Sehingga nanti akan di-scan di SPBU. QR Code juga tidak wajib di-handphone atau gadget. Masyarakat bisa mencetak QR Code dan dibawa ke SPB. Ini adalah langkah-langkah untuk memudahkan masyarakat dalam mengakses bahan bakar bersubsidi.
Selain itu, agar subsidi tepat sasaran, Pertamina juga memperketat pengawasan di SPBU dengan menerapkan sistem digitalisasi dan pemasangan CCTV di setiap pompa, hingga melakukan koordinasi khusus dengan aparat penegak hukum. Di sisi distribusi, Pertamina juga telah menerapkan monitoring GPS Mobil Tangki khususnya pengangkut BBM bersubsidi khususnya jenis Solar untuk antisipasi adanya potensi mobil tangki berhenti di jalur tidak wajar.
Menekan lonjakan
Menurut Nicke, kebijakan subsidi tepat sasaran melalui Mypertamina dan digitalisasi SPBU telah berhasil menekan konsumsi baik itu Solar maupun Pertalite. Secara total pada 2022 realisasi konsumsi Pertalite minus satu persen dibandingkan target 29,91 juta kilo liter. Kemudian Solar yang di dalam Rencana Kerja Anggaran Perusahaan (RKAP) sebesar 16,78 juta kiloliter realisasinya ditekan menjadi 16,70. “Pendaftar QR Code itu walaupun dulu itu riuh karena proses pendaftaran, sekarang setelah banyak pakai QR code ada kemudahan sehingga kita bisa kendalikan lebih rendah,” ujar Nicke, dalam keterangan terpisah.
Pada tahun ini kuota Pertalite yang dijatah oleh pemerintah sebesar 32,56 juta kilo liter dan Solar sebanyak 17 juta kilo liter. Jumlah kuota Pertalite itu meningkat dari 2022 yang ditambahkan hingga 29,91 juta kilo liter. Sementara kuota Solar masih berada di kisaran 17,83 juta kilo liter.
Nicke pun mendorong revisi Perpres nomor 191 tahun 2014 . Revisi ini penting untuk mengatur pembelian jenis bahan bakar minyak khusus penugasan (JBKP) agar pengendalian tersebut benar-benar bisa berjalan. “Kalau sudah keluar, kita bisa langsung tarik karena datanya sudah ada,” ujar srikandi jebolan Teknik Industri dari Institut Teknologi Bandung (ITB) itu.
Menurut Nicke, revisi Perpres itu adalah kewenangan Pemerintah selaku regulator. Tentu, kata ia, Pertamina juga diminta untuk memberikan masukan, seperti data mengenai tren konsumsi bahan bakar bersubsidi yang disalurkan setiap tahunnya.
Fokus utama Pertamina saat ini adalah kesiapan dalam menerapkan penggunaan teknologi untuk membantu implementasi rencana revisi itu di lapangan (SPBU) dengan melakukan pendataan konsumen yang cukup lengkap. “Pertamina juga telah bekerja sama dengan Korps Lalu Lintas atau Korlantas Polri untuk melakukan sinkronisasi data kendaraan, melalui aplikasi MyPertamina.,” jelasnya.
Menunggu Revisi Perpres
Masalah subsidi bahan bakar minyak agar tepat sasaran sejatinya sudah muncul sejak lama. Bahkan sebelum era Pertalite (RON 90) atau ketika penjualan RON 88 (Premium) menjadi pilihan utama konsumen. Beragam opsi muncul, termasuk penarikan dan pemangkasan subsidi.
Kehadiran Pertalite pada 2015 sejatinya juga untuk mengurangi ketergantungan masyarakat terhadap Premium dan menghadirkan kualitas bahan bakar lebih baik. Namun pada Maret 2022, pemerintah memasukkan Pertalite sebagai bahan bakar penugasan. Pemerintah secara resmi memberikan subsidi terhadap bahan bakar tersebut. Besaran subsidi dan kompensasi pun melonjak. Tahun 2023 subsidi energi dan kompensasi diproyeksikan mencapai Rp 339 triliun.
Di tengah pembahasan revisi Perpres tersebut, beragam opsi untuk membatasi konsumsi Pertalite. Salah satunya yang menguat yakni dengan pembatasan cc (cubic centimeter) dan jenis kendaraan. Kendaraan yang mempunyai cc di atas 1.400, dilarang untuk membeli bensin bersubsidi. Ada juga wacana pembatasan dari tahun pembelian kendaraan.
Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif pun tak menampik bahwa pembatasan BBM subsidi ini secara nyata masih akan menunggu revisi Perpres Nomor 191 tahun 2014. Pastinya, konsep Perpres itu sudah dikirim, hanya saja masih harus menunggu persetujuan.
Pengamat Energi dari Universitas Gadjah Mada Fahmi Radhi mengatakan, untuk menyelamatkan subsidi tepat sasaran maka mau tidak mau dalam jangka pendek revisi Perpres 191 tahun 2014 harus segera dikeluarkan. Karena bagaimanapun pemakaian aplikasi Mypertamina tidak akan bisa untuk menekan subsidi dalam jumlah besar.
Fahmi pun lebih setuju, bila mereka yang mengonsumsi Pertalite hanya untuk sepeda motor dan angkutan kota . “Selebihnya, seperti kendaraan pribadi itu menggunakan Pertamax,” ujarnya kepada GPR News.
Terkait wacana Pertalite tidak boleh untuk kendaraan di atas 1.400 cc, menurut Fahmi sulit diterapkan di lapangan. Karena ada juga mobil mewah atau baru yang cc nya kecil. “Khawatir ini bisa memicu ketidakadilan,” katanya.
Adapun bahan bakar Solar, saran Fahmi, hanya untuk truk roda empat. Karena truk-truk bermuatan besar biasanya itu milik korporasi besar. Namun sekali lagi pembatasan itu menunggu kepastian Perpres nomor 191 tahun 2014. (infopublik.id)
Artikel ini tayang di jaringan media Matamaja Group (Buser Group)