BUSERJATIM.COM-SORONG, PBD – Bukan lagi rahasia, apabila bisnis jual beli Kayu di Pulau Papua masih menjadi primadona. Memiliki luas hutan yang membentang luas dengan kekayaan alamnya, menjadikan Pulau Papua sebagai sasaran empuk bisnis jual beli kayu. Wilayah Papua dikenal sebagai penghasil utama kayu merbau. Merbau atau kayu besi merupakan pohon penghasil kayu keras berkualitas tinggi anggota suku Fabaceae (Leguminosae). Kayu ini menjadi primadona utama hasil hutan Papua. Harganya cukup mahal, mulai Rp 1,2-5 juta per meter kubik tergantung dari kualitas kayu. Kayu ini pun menjadi incaran pengusaha luar negeri sehingga menjadikan kayu ini sebagai salah satu komoditas ekspor unggulan dari Papua ke sejumlah negara seperti Cina, Hongkong dan India.
Siapa yang menduga jika bisnis usaha Kayu di wilayah Papua begitu menggiurkan. Dari hasil investigasi kolaborasi sorongnews.com bersama 4 media online lainnya mengetahui bahwa dibalik usaha jual beli kayu, bukan sekedar membeli dan menjual kayu, namun proses jual beli Kayu yang kebanyakan masih kategori ilegal karena dilakukan dilahan bukan produksi itu ternyata cukup mahal.
Dari salah satu narasumber utama yang merupakan pelaku usaha perkayuan dari CV Prima Papua, sebut saja namanya Beni diketahui bahwa Pelaku hak ulayat hutan menjadi faktor utama Ilegal Loging terjadi di wilayah Papua.
“Dapat Saya katakan bahwa pemilik hak ulayat hampir 100-200 persen mengambil keuntungan dari penebangan kayu di hutan milik masyarakat. Mereka dibayar sesuai kesepakatan, ada yang dibayar sesuai luasan hektar hutan yang akan ditebang, entah kayu apa yang ada didalam hutan itu, atau kesepakatan kedua yaitu membayar sesuai kesepakatan jenis kayu permeter kubik. Misalnya jenis kayu Merbau sekitar Rp1.100.000 permeter kubik kepada pemilik ulayat atau 1 Milyar seluas 10 hektar, dibayar dimuka,” terang Beni.
Setelah adanya kesepakatan tersebut, pihak perusahaan kemudian melakukan operasional didalam kawasan hutan masyarakat. Menurut sumber setiap orang memiliki peran dan bayaran yang berbeda. Berikut rincian pekerjaan dan honor pelaku usaha Kayu yang berhadi dirangkum oleh tim investigasi.
- Biaya kepemilik hak ulayat bisa mencapai Rp.1.100.000 permeter kubik
- Biaya Potong kayu Rp. 1.200.000 permeter kubik
- Biaya pikul kayu dari hutan ke titik pengangkutan Rp.500.000 permeter kubik
- Biaya Transportasi dari lokasi ke pabrik Rp.700.000 sampai Rp1.000.000 permeter kubik
- Biaya pemulus di 7 pos kehutanan Rp250.000 sampai Rp300.000 perpos
- Biaya pengamanan Rp5.000.000 sampai Rp5.500.000 perbulan
- Biaya Serkel, Molding dan Kedi sesuai UMR yaitu Rp3.300.000 perbulan dan ditambah uang lembur Rp25.000 perjam
- Biaya jatah setoran ke oknum militer, oknum kepolisian dan oknum wartawan abal-abal Rp500.000 hingga Rp2.500.000 perbulan
Usai proses pemotongan kayu dari hutan, pengangkutan hingga tiba di pabrik, Kayu kemudian diolah kembali sesuai permintaan pembeli. Setelah melalui proses panjang tersebut, kayu siap kirim dimasukan ke dalam kontainer dan siap dikirim melalui pelabuhan laut Sorong menggunakan kapal laut.
Data yang diperoleh tim dari Volza.com CV Prima Papua melakukan 38 pengiriman ekspor dengan 1 pasar ekspor teratas adalah negara India dengan 3 kategori produk ekspor yaitu HSN Code 44072900, HSN code 44072990 dan HSN code 44079990. Selama empat bulan terakhir sejak September hingga Desember tahun 2022 telah melakukan pengiriman ekspor kayu jenis Merbau ke negara India dengan total volume pengiriman sebanyak 866,81 kubik kayu.
Bukan saja mengambil kayu dari masyarakat adat di wilayah Makbon, Sayosa dan Klamono di Sorong, modus pengumpulan kayu di CV Prima Papua yaitu dengan memanfaatkan sejumlah perusahaan kayu lainnya berasal dari Kabupaten Bintuni dan Kaimana serta sejumlah Tempat Penjualan Kayu (TPK) di wilayah Sorong.
“Modus pembelian di TPK berupa bantalan dengan kualitas ekspor misalnya ukuran 15 x 20, 15 x 25, 20 x 25, 20 x 30 panjang 2 meter, dengan harga beli relatif dari Rp5.000.000 hingga Rp8.000.000 perkubik sesuai kualitas dan ukuran kayu,” ujar Beni.
Beni pun mengungkapkan pengalamannya selama menjadi bagian jual beli Kayu ini sebagai bentuk keprihatinan atas jual beli hutan masyarakat kepada perusahaan yang mengekspor kayu unggulan Papua yaitu Merbau. Dimana diketahui Merbau merupakan pohon yang cukup lama tumbuh dan berkembang. Sedangkan perusahaan yang melakukan penebangan tidak melakukan reboisasi atau penanaman ulang kayu besi tersebut. Masyarakat adat pun tergiur dengan nominal yang cukup besar untuk menjual hutan mereka kepada cukong kayu.
“Saya berada di Papua sejak tahun 1973 dan paham betul dengan budaya masyarakat pribumi, Saya harap mereka sadar bahwa kayu merbau ini merupakan kekayaan alam Papua yang harus dijaga. Apalagi Papua sebagai salah satu pulau yang masih menyumbangkan oksigen terbesar di dunia. Kayu Besi ukuran 3-4 orang yang peluk pohon, usianya bisa mencapai 40 tahunan,” imbuh Beni.
Ia pun mengungkapkan, bahwa potensi hutan Merbau di Papua masih sangat luas dan semakin banyak perusahaan kayu yang masuk untuk melakukan eksplorasi. Salah satunya di Sayosa, masih ada ratusan hektar yang dieksplorasi perusahaan kayu termasuk salah satunya perusahaan asing. (timinv/Red)