Entomolog Institut Pertanian Bogor, Prof Damayanti Buchori, menegaskan bahwa penggunaan bakteri wolbachia untuk menekan demam berdarah dipastikan aman.
Kesimpulan ini didapatkan usai dilakukan analisis risiko nyamuk ber-wolbachia oleh tim independen bentukan Kemenkes dan Kemenristek Dikti pada 2016 lalu. Tim independen terdiri dari 24 peneliti terbaik Indonesia dengan keahliannya masing-masing.
Prof Damayanti melalui keterangannya yang dikutip InfoPublik Minggu (26/11/2023) menjelaskan bahwa analisis risiko ini dilakukan untuk mengetahui efektivitas dan dampak jangka panjang dari penerapan nyamuk ber-wolbachia terhadap manusia, hewan maupun lingkungan.
“Tujuan dari analisa risiko ini, karena wolbachia ini adalah teknologi baru, kita kan tidak tahu dampak lingkungannya bagaimana, sehingga analisa risiko ini untuk melihat jangka panjang, apa kira-kira dampak negatif di masa depan,” kata Prof Dama.
Selama proses analisis risiko, para peneliti banyak mendiskusikan potensi-potensi yang mungkin akan terjadi dimasa depan. Ada pun fokus diskusi menekankan pada empat hal yakni risiko pada lingkungan, sosio kultural dan ekonomi, managemen nyamuk, dan public health.
Pertama yang diidentifikasi adalah bahayanya. Bahaya apa yang akan terjadi dimasa depan dan diidentifikasi ada 56 bahaya. Prof Dama menjelaskan pihaknya memprediksi bahaya akan terjadi dalam waktu 30 tahun kedepan.
Hasilnya, penerapan teknologi nyamuk ber-wolbachia untuk menekan penyebaran virus demam berdarah aman, bahkan dalam jangka waktu 30 tahun ke depan risikonya dapat diabaikan.
“Dari matriks risiko, pada akhirnya keluarlah negligible risk, yakni penggunaan wolbachia dapat diabaikan dalam waktu 30 tahun. Namun, monitoring secara reguler perlu dilakukan untuk melihat perkembangannya,” kata Prof Dama.
Peneliti Nyamuk Ber Wolbachia Universitas Gadjah Mada Prof. Adi Utarini meyakini bahwa Wolbachia adalah bakteri alami bukan rekayasa genetika. Wolbachia juga aman untuk manusia, hewan dan lingkungan. Kemudian penyebaran nyamuk aedes aegypti yang memiliki bakteri baik wolbachia pun diperluas.
“Pelepasan (nyamuk ber-wolbachia) awalnya dilakukan dari wilayah kecil ditingkat dusun dan difase menentukan untuk menunjukkan bagaimana efeknya untuk penurunan dengue, akhirnya dilakukan pelepasan dalam skala luas di Kota Yogyakarta,” kata Prof Adi.
Hasilnya, penyebaran nyamuk ber-wolbachia untuk mengurangi demam berdarah terbukti efektif menurunkan angka kejadian dengue hingga 77 persen dan angka perawatan di rumah sakit sebesar 86 persen.
Penggunaan fogging atau pengasapan perlahan juga turun. Hasil dari kajian ini selanjutnya diajukan ke Badan Kesehatan Dunia (WHO) dan akhirnya pada 2021 nyamuk ber-wolbachia mendapatkan rekomendasi dari WHO.
Adanya rekomendasi ini, penerapan teknologi wolbachia untuk mengatasi demam berdarah kian melengkapi Strategi Nasional Penanggulangan Dengue 2021-2025.