MALANG – Di dalam strata sosial bangsa kita, buruh adalah sosok pekerja tingkat paling bawah.
Di rumah kita mereka itu mungkin pembantu, di kantor kita mereka mungkin petugas cleaning service, di perusahaan kita mereka mungkin kuli panggul, dan sebagainya, semisal marbot di tempat ibadah.
Buruh hampir pasti tenaganya dibayar dengan ongkos kerja yang sangat murah, rendah sekali. Berbeda dengan juragan yang selalu membawa gaji, atau take home pay yang tertinggi dilingkungan kerjanya.
Deferensiasi itu disebabkan karena mayoritas buruh dinilai “hanya” mengeluarkan andil pekerjaan berskala kecil dan remeh-temeh, sedangkan juragan berinvestasi dengan modal dan kecerdasan tinggi. Benarkah seperti itu, sahabat…?
Bagi saya sih itu penilaian sangat subyektif. Banyak orang kurang mengerti bahwa (maaf) ketika seorang pembantu masuk ke rumah kita mereka sudah lebih dulu menggadaikan harga dirinya dengan munduk-munduk, dengan kepala tertunduk dan segala kepatuhan kepada kita. Demikian pula pada buruh di kantor atau perusahaan.
Bayangkan saudara…”harga diri”, sebuah kebanggaan yang biasa kita pertahankan dimanapun, kapanpun,…mereka kaum buruh sudah menggadaikan harga diri mereka, entah di pegadaian mana.
Maka pesan saya, jangan sekali-kali panjenengan berbuat semena-mena kepada pembantu, kepada buruh yang bekerja di kantor atau di tempat usaha panjenengan. Sangat tidak elok.
Didunia internasional, keberadaan dan manifes kaum buruh diperingati dengan Hari Buruh, 1 Mei. Sejarahnya terjadi di Amerika tahun 1886 yang digelorakan oleh Organisasi Buruh Knight of Labour, di Chicago geger waktu itu.
Di negeri kita pernah juga terjadi pada tahun 1918 ketika Serikat Butuh Kung Tang Hwee (di Surabaya), yang tersengat oleh agitasi Adolf Baars yang mengogrok-ogrok pemerintah Hindia Belanda, bahwa kaum buruh dibayar terlalu murah.
Kemudian beberap tahun kemudian aksi kaum buruh dibungkam oleh pemerintah Hindia Belanda.
Baru pada pemerintahan Pak SBY Hari Buruh dirayakan lagi di Indonesia, sampai sekarang.
Bagi saya kebangkitan buruh internasional itu seingat saya terjadi ketika Serikat Buruh di Polandia bergolak dalam kapasitas yang sangat besar dan intens.
Mungkin di tahun 80an lah, yang jelas semua media elektronik menyiarkan bagaimana Lech Wallesa menggerakkan jutaan buruh di Kota Gdansk, Polandia untuk menuntut eksistensi butuh ditengah industrialisasi yang marak di negara Eropa Timur itu.
Mereka dieksploitasi tenaga dan pikirannya, tetapi eksistensi dan hak asasinya terinjak-injak oleh kaum kapitalis dan pemegang mayoritas saham perusahaan besar…!!
Itu yang saya catat, tentang pergolakan
Buruh terbesar dalam memori ingatan saya sampai sekarang. Menurut saya, kita Gdansk di Polandia adalah kota dimana pada era industrialisasi modern yang menjadi saksi gerakan kaum buruh menuntut eksistensi dan hak azasi mereka sebagai pekerja.
Tuntutan kaum buruh sesungguhnya sangat realistis, sangat azasi dan manusiawi, antara lain adalah…
Upah pekerja yang layak, sesuai dengan upah minimal (di kotanya).
Jam kerja yang rasional dengan kompensasi kelebihan jam kerja (overtime).
Cuti hamil (yang waktunya sesuai harkatnya sebagai kaum ibu).
Buruh…diperlukan tetapi sesama manusia memandangnya dengan sebelah mata.
Sedangkan Tuhan memandang semua manusia dengan penuh Kasih dan Sayang.
Dengan asma Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang…(pernahkah panjenengan mengucapkan lafadz ini dengan penuh kesadaran dan ketawadlu’an nurani…?)
Salam sehat…