Samarinda, Kalimantan Timur – Loket-loket penjualan narkoba jenis sabu-sabu di Kota Samarinda diduga beroperasi bebas tanpa hambatan, bahkan hingga 24 jam penuh. Kondisi ini memicu kecurigaan dari masyarakat, termasuk kalangan jurnalis, terhadap peran dan tanggung jawab aparat kepolisian di tingkat Polsek dan Polres.14/04
Baharuddin, jurnalis dari Media Buser Jatim, menyampaikan kegelisahannya setelah menyaksikan langsung praktik peredaran sabu di beberapa lokasi di Kota Samarinda. Ia bahkan mengaku telah menghubungi pihak satuan narkoba di Polres Samarinda untuk melakukan penindakan, namun tidak mendapat respons.
“Saya sudah berusaha masuk ke lokasi dan minta dipertemukan dengan bos jaringan sabunya. Tapi ketika saya hubungi anggota Polres, mereka tidak jawab. Alasan mereka, tidak bisa tangkap tanpa barang bukti. Padahal setiap dua menit ada pembeli keluar masuk,” ungkap Baharuddin.
Menurutnya, alasan tersebut tidak logis. Ia menyarankan kepada pihak kepolisian untuk menangkap pembeli yang keluar dari lokasi sebagai langkah awal mengumpulkan barang bukti dan informasi lanjutan.
Lebih lanjut, ia menilai sikap aparat di lapangan seolah pura-pura tidak tahu dan membiarkan situasi ini terus berjalan. Bahkan bagian humas Polres pun disebut tidak merespons saat dikonfirmasi.
“Saya bingung, ini polisi diajarkan untuk tutup mata, telinga, dan mulut? Banyak loket sabu di kota ini, dan mereka tahu, tapi diam saja,” katanya dengan nada kecewa.
Dalam pernyataannya, Baharuddin menilai aparat yang bersikap pasif ini telah melanggar tanggung jawab hukum dan etika profesi sebagai penegak hukum. Ia menegaskan bahwa keberadaan jaringan narkoba yang dibiarkan beroperasi terang-terangan dapat merusak generasi bangsa.
Mengacu pada Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, Pasal 112 menyebutkan bahwa setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan narkotika golongan I bukan tanaman dapat dipidana dengan penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 12 tahun. Sementara Pasal 114 mengatur ancaman pidana terhadap orang yang melakukan jual beli narkotika dengan hukuman maksimal 20 tahun hingga seumur hidup.
Lebih jauh lagi, jika ada aparat penegak hukum yang terbukti melakukan pembiaran atau bahkan terlibat dalam jaringan narkoba, maka berdasarkan Pasal 132 UU Narkotika, mereka dapat dijerat sebagai pihak yang turut serta atau membantu terjadinya tindak pidana narkotika.
Baharuddin menyatakan akan mengirimkan bukti video dan foto aktivitas peredaran sabu di Samarinda langsung kepada Kapolri, sebagai bentuk keprihatinan dan dorongan agar dilakukan tindakan tegas.
“Saya minta kepada Bapak Kapolri agar seluruh anggota yang tidak serius memberantas narkoba dan hanya jadi beban institusi segera disingkirkan. Jika ini terus dibiarkan, masa depan Indonesia akan hancur oleh narkoba,” pungkasnya.
Penulis: Baharuddin
Media Buser Jatim