Nyamuk dengan Bakteri Wolbachia Berhasil Turunkan Kematian akibat DBD

Implementasi teknologi nyamuk dengan bakteri Wolbachia berhasil menurunkan incidence rate demam berdarah di Yogyakarta di bawah standar WHO, yaitu 1,94 per 100 ribu penduduk data pada Juli 2023.

WHO menetapkan standar untuk incidence rate atau frekuensi kesakitan sebesar 10 per 100 ribu penduduk. Hal tersebut disampaikan Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin saat Rapat Dengar Pendapat Komisi IX DPR RI terkait Implementasi Wolbachia di Gedung DPR.

“Begitu (implementasi Wolbachia) terjadi di Yogya dan kenapa kita senang karena pendekatannya ilmiah, sistematis, dan terstruktur. Bakteri wolbachia ini di nyamuk pun ada, jadi bukan sesuatu yang dibikin-bikin,” kata Menkes Budi melalui keterangan resminya Kamis (30/11/2023).

Secara umum, frekuensi kesakitan demam berdarh tercatat 28,45 per 100 ribu penduduk dan frekuensi kematian 0,73 per 100 ribu penduduk. Kasus tersebut didominasi oleh usia 5-14 tahun.

Menkes Budi menjelaskan dengue (DBD) di Indonesia meningkat terus selama mungkin 50 tahun terakhir. Selama itu, pemerintah Indonesia sudah melakukan segala macam intervensi dan program.

Mulai dari pemberian larvasida, Pemberantasan Sarang Nyamuk, melakukan 3M, membentuk Juru Pemantau Jentik (Jumantik) dan adanya Gerakan 1 Rumah 1 Jumantik sampai fogging.

Bakteri wolbachia menghambat perkembangan virus dengue di tubuh nyamuk aedes aegypti. Artinya, kemampuan nyamuk dengan wolbachia dalam menularkan virus ke manusia akan berkurang.

Ketika nyamuk aedes aegypti dengan wolbachia berkembang biak di populasi nyamuk, maka kasus dengue akan menurun. Cara berkembang biak nyamuk aedes aegypti ber-wolbachia.

Antara lain apabila nyamuk jantan ber-wolbachia kawin dengan nyamuk betina ber-wolbachia, telurnya akan menetas dan menghasilkan nyamuk ber-wolbachia.

Jika nyamuk jantan tidak ber-wolbachia kawin dengan betina ber-wolbachia, telurnya akan menetas dan menghasilkan nyamuk ber-wolbachia. Namun, bila nyamuk jantan ber-wolbachia kawin dengan betina tidak ber-wolbachia, maka telurnya tidak akan menetas.

Mengenai proses penyebarannya, sebuah ember memuat 250-300 telur nyamuk, dengan angka penetasan ±90 persen. Jumlah nyamuk yang akan disebarkan sebesar 10 persen dari populasi nyamuk didaerah tersebut.

Penyebarannya dilakukan 12 kali. Artinya, ada pelepasan ± 2-3 nyamuk/meter setiap 2 minggu dan dilakukan sebanyak 12 kali.

Menkes Budi mengatakan penelitian teknologi nyamuk ber-wolbachia ini sudah lama dilakukan. Dalam penelitiannya, peneliti menjalankan semua tahapan dan tidak memangkas (bypass) prosesnya.

Hasil studi Aplikasi Wolbachia untuk Eliminasi Dengue (AWED) tahun 2017-2020 menunjukkan setelah nyamuk ber-wolbachia dilepaskan, kasus dengue menurun hingga 77 persen.

“Sudah jelas sekali hasil studi AWED begitu wolbachia disebar dengue-nya turun. Jadi secara data, secara sains, secara fakta, sudah jelas. Itu sebabnya kemudian Kemenkes yakin kita terapkan ini (wolbachia),” kata Menkes Budi.

Selanjutnya, Kemenkes melakukan implementasi awal program wolbachia di 5 kota, yakni Semarang, Bandung, Jakarta Barat, Bontang, Kupang, dan terakhir akan di fasilitasi pelaksanaan di Denpasar.

Pemilihan wilayah itu berdasarkan analisis insiden dengue, kepadatan penduduk, keterwakilan wilayah, dan komitmen kepala daerah.

infopublik.id

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *