JAKARTA,BUSERJATIM.COM – Kebakaran Lapas Tangerang yang menyebabkan meninggalnya 41 narapidana yang mayoritas penyalah guna narkotika adalah pelajaran berharga yang harus dijadikan pedoman dalam menanggulangi masalah narkotika.
Sebelumnya kebakaran terjadi dilapas Manado (11/04/2020) Lapas Purwokerto (29/10/2020), Lapas kaban jahe (12/02/2020), Lapas Palu (30/09/2019), belum termasuk kerusuhan dan keributan yang terjadi di Lapas akibat ulah narapidana narkotika.
Evaluasi secara benar harus segera dilakukan terhadap praktek memenjarakan penyalah guna karena penyalah guna dipenjara, membahayakan nyawa narapidana, membahayakan Instalasi Lapas dan aparatnya.
Rehabilitasi harga mati karena penyalah guna itu kriminal sakit adiksi dan ganguan mental kejiwaan perilakunya bisa bringas, bisa depresan dan bisa halusinasi bila tidak mendapat pasokan narkotika didalam penjara.
Perkara penyalahgunaan narkotika adalah perkara twilight, diperlukan pemahaman yang jernih agar dapat membedakan mana perkara penyalahgunaan dan mana perkara peredaran gelap narkotika, perkara penyalahgunaan narkotika kadang disamakan atau dianggap sebagai perkara pengedar.
UU narkotika dan peraturan pelaksanaannya mengatur secara gamblang bahwa perkara penyalah guna adalah perkara kepemilikan narkotika untuk dikonsumsi secara tidak sah dan melanggar hukum (pasal 1/15). Perkara ini ditandai dengan kepemilikan narkotikanya secara terbatas jumlahnya (SEMA no 4/2010).
Sedangkan perkara pengedar adalah perkara kepemilikan narkotika yang jumlahnya melebihi jumlah yang ditentukan oleh SEMA no 4/2010 tentang penempatan korban penyalahgunaan narkotika, penyalah guna dan pecandu kedalam lembaga rehabilitasi.
Perkara tersebut mendominasi hampir 70 % perkara di pengadilan, sedangkan sekitar 30% lainnya perkara kejahatan lainnya.
Kok bisa begitu ?
Ya bisa karena perkara tersebut mudah ditangkap dan mudah pembuktiannya serta dianggap sebagai prestasi penegakan hukum bila dapat memenjarakan penyalah guna narkotika .
Secara yuridis dan medis perkara penyalahgunaan narkotika, tujuan penanggulangannya bukan dipenjara tetapi dijamin UU mendapatkan upaya rehabilitasi (pasal 4d) baik terbukti bersalah maupun tidak terbukti bersalah melalui keputusan atau penetapan hakim.
Proses pe
ngadilannya diatur secara khusus dalam pasal 127 ayat 2 UU no 35 tahun 2009 tentang narkotika bahwa hakim wajib memperhatikan kondisi terdakwa, apakah terdakwa dalam keadaan kecanduan narkotika dan gangguan mental melalui hasil assesmen, kalau tidak ada hasil assemen, hakim berwenang dan wajib meminta untuk dilengkapi.
Hakim diwajibkan memperhatikan status hukum tersangkanya apakah sudah pernah mendapatkan perawatan atau belum, karena bila sudah pernah melakukan statusnya tidak dituntut pidana (pasal 55, 128/2).
Hakim diwajibkan menggunakan kewenangan yang diberikan UU secara khusus yaitu kewenangan “dapat” menjatuhkan hukuman rehabilitasi baik terbukti bersalah maupun tidak terbukti bersalah (read: pasal 103/1).
Rehabilitasi adalah bentuk hukuman khusus bagi penyalah guna (pasal 103/2) dimana tempat menjalani rehabilitasi adalah Rumah Sakit atau Lembaga Rehabilitasi yang ditunjuk Pemerintah.
Artinya hukuman rehabilitasi itu harga mati, satu satunya pilihan hukum bila menjatuhkan hukuman terhadap perkara yang terbukti sebagai penyalah guna narkotika baik terbukti bersalah maupun tidak terbukti bersalah.
Sayang hakim tidak melaksanakan kewajiban kewajiban khusus tersebut, akibatnya penyalah guna penderita sakit ketergantungan narkotika dan gangguan mental dijatuhi hukuman penjara yang mengakibatkan terjadinya anomali di dalam Lapas dan dampaknya kemana mana.
Oleh karena itu Legislatif, Eksekutif dan Yudikatif perlu mengevaluasi pelaksanaan penegakan hukum dan penjatuhan hukumannya agar tidak terjadi dampak buruk seperti kebakaran, kerusuhan, keributan di dalam Lapas dan akibat akibat lainnya karena ulah penyalah guna didalam penjara.
Dampaknya bila kriminal sakit dipenjara
Bila kriminal sakit dipenjara berdampak terjadinya anomali Lapas ditandai dengan over kapasitas lapas, meskipun meskipun kapasitas Lapas ditingkatkan setiap tahunnya, terjadinya peredaran gelap narkotika didalam lapas, banyak petugas lapas yg terlibat membantu terjadinya peredaran gelap narkotika didalam penjara.
Terjadi dampak buruk akibat kriminal sakit dipenjara, selain kebakaran, kerusuhan, keributan, bahkan bisa terjadi pembunuhan akibat ulah narapidana sakit ketergantungan narkotika dan gangguan mental.
Juga terjadi dampak buruk lainnya seperti terjadinya residivisme penyalahgunaan narkotika, karena kriminal sakit tersebut tidak disembuhkan dan dipulihkan.
Setelah keluar dari penjara kambuh lagi dan menggunakan narkotika lagi dan kemudian ditangkap lagi.
Dampak yang lebih buruk terjadi peningkatan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika, hal ini sangat merugikan masa depan individu, masarakat, bangsa dan negara.
Pada akhirnya negara menghasilkan Sumber Daya Manusia yang tidak sehat karena kejangkitan sakit ketergantungan narkotika dan gangguan kejiwaan. Ini pernah dialami oleh Amerika ketika era war on drugs dengan menghasilkan generasi hippies.
Solusi berdasarkan UU narkotika
Kementrian Kesehatan yang membidangi masalah narkotika dan BNN sebagai koordinator P4GN dapat melakukan langkah langkah yang secara ekplisit tertuang dalam UU narkotika dan peraturan per UU an yang berlaku
• Melakukan langkah utama yaitu prevention without punishment agar penyalah guna atau orang tuanya melakukan wajib lapor ke IPWL agar mendapatkan perawatan melalui sosialisasi wajib lapor secara sungguh sungguh agar penyalah guna sembuh dan tidak relapse.
Pengemban fungsi rehabilitasi yaitu Kemenkes, Kemensos dan BNN sendiri membuka layanan rehabilitasi untuk melayani penyalah guna yang ingin sembuh dengan melakukan wajib lapor ke IPWL yaitu rumah sakit atau lembaga rehabilitasi milik pemerintah mulai dari tingkat kab/kota secara berjenjang.
• Melakukan Criminal Law Application secara selektif, terhadap pengedar diproses melalui Criminal Justice Sistem (CJS) dengan hukuman berupa pidana, terhadap penyalah guna narkotika diproses melalui Rehabilitation Justice Sistem (RJS) dengan hukuman berupa rehabilitasi.
Terhadap pengedar secara simultan disampaing diproses secara pidana juga dilakukan perampasan asetnya dan dilakukan pembuktian terbalik dipengadilan berdasatkan pasal 89 UU no 35/2009 tentang narkotika
Dilakukan pemutusan jaringan bisnis peredaran gelap narkotika sehingga mereka tidak bisa berkomunikasi dengan jaringannya.
• Melakukan influencing views of sosiety on crime and punisment dengan cara melakukan sosialisasi tentang bahaya menyalahgunaan narkotika bagi individu, masarakat, bangsa dan negara.
Penyalah guna narkotika itu adalah kriminal sakit menderita ketergantungan narkotika dan gangguan mental memerlukan perawatan berupa rehabilitasi bukan penjara.
Penyalah guna narkotika tersebut wajib menjalani rehabilitasi baik melalui mekanisme wajib lapor pecandu atau melalui mekanisme penegakan hukum dengan mewajibkan hakim untuk menjatuhkan hukuman berupa rehabilitasi.
Ke 3 solusi atas dasar UU narkotika tersebut harus diupayakan oleh pemerintah khususnya Kemenkes sebagai menteri yang membidangi narkotika dan BNN sebagai koordinator P4GN agar terjadi mekanisme check and balance dalam penegakan hukum narkotika.
Salam anti penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika. Rehabilitasi penyalah gunanya dan penjarakan pengedarnya.
Penulis : DR. H. Anang Iskandar, MH, Pegiat anti Narkotika Nasional